A1news.co.id|Takengon – Ribuan Tenaga Pendamping Profesional (TPP) seluruh Indonesia dibuat resah dengan kebijakan (baru) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendesa PDT) tahun 2025.
Betapa tidak, setelah 2 (dua) bulan menunggu ketidakjelasan kontrak kerja tahun 2025, akhirnya mereka disodorkan draft kontrak pada Jum’at (20/2/2025).
Masalahnya, draft kontrak kerja yang harus ditandatangani oleh para Pendamping Desa segala tingkatan tersebut, memuat beberapa poin “jebakan” yang tidak pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Salah satu lampiran kontrak yang wajib ditandatangani oleh TPP adalah surat pernyataan tidak pernah melanggar UU Pemilu. Lucunya, judul surat pernyataan dengan isinya tidak relevan.
Pada angka 2, berbunyi “Apabila di kemudian hari saya terbukti pernah mencalonkan diri sebagai anggota DPR, calon anggota DPD, dan calon anggota DPRD Provinsi/ Kabupaten/ Kota.
Tanpa didahului dengan pengunduran diri atau mengajukan cuti sebagai Tenaga Pendamping Profesional, maka saya bersedia diberhentikan sepihak oleh Pejabat Pembuat Komitmen Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal”.
Dewi, salah seorang TPP yang pernah jadi Caleg di Sumut, secara rinci menjelaskan bahwa pada saat dicalonkan menjadi Caleg tahun 2023 lalu, mereka sepenuhnya sudah mendapat “lampu hijau” dari Kementerian Desa PDTT.
Dibuktikan dengan surat jawaban Kemendesa PDTT kepada KPU RI Nomor 1261/HKM.10/VI/2023 tentang Penyampaian Jawaban tentang Pekerjaan Pendamping Desa tanggal 27 Juni 2023.
Inti surat yang ditandatangani Taufik Madjid, Sekjen Kemendesa PDTT adalah Pendamping Desa tidak berstatus sebagai pegawai atau karyawan sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat 1 huruf k Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023. Pada poin selanjutnya Kementerian Desa juga menyebutkan tidak ada larangan TPP menjadi anggota Partai Politik.
Dasar surat inilah kemudian KPU RI mengirimkan surat ke KPUD/KIP seluruh Indonesia. Surat KPU Nomor 740/PL.01.4-SD/05/2023 tanggal 20 Juli 2023 ikut menegaskan bahwa tidak ada peraturan apapun yang menyatakan TPP tidak boleh menjadi anggota Partai Politik dan yang bersangkutan harus mundur ketika menjadi Caleg.
Salah seorang TPP di Sumbar yang khusus menelpon media ini, juga ikut menjelaskan bahwa kebijakan baru Kemendesa PDT saat ini, paradoks dengan kebijakan Kemendesa PDTT sebelumnya.
“Nggak masalah kami teken surat pernyataan itu, tapi jangan berlaku surut. Untuk Pemilu 2029, cocok. Dulu kami, kalau dilarang Kemendesa juga tidak mau nyaleg,” sebutnya.
Ia melanjutkan, kebijakan Kemendesa PDT tahun ini agak sedikit aneh. Sampai akhir Februari 2025, kontrak kerja TPP belum diterima padahal mereka terus mendampingi masyarakat sejak 2 Januari 2025.
“Jangankan gaji, kontrak saja tidak jelas. Tahu-tahu dapat draft yang itu. Bagaimana nasib kami ke depan? Termasuk kami yang sudah bekerja selama dua bulan?” katanya seraya juga menjelaskan perasaan yang sama dialami oleh ribuan TPP seluruh Indonesia yang pernah menjadi Caleg tahun 2024 lalu.
Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKB Syafiuddin Asmoro, mengatakan kami menilai langkah Kementerian Desa meminta para pendamping desa yang maju menjadi caleg pada Pemilu 2024 untuk mengundurkan diri tidak berdasar dan terkesan bernuansa politis.
Langkah ini menurut kami hanya memicu kegaduhan di tengah usaha keras Presiden Prabowo mewujudkan berbagai program prioritasnya,”
Syafiuddin menjelaskan rujukan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal ke UU Nomor 23/2017 tengang Pemilu Pasal 240 huruf K sebagai dasar untuk meminta pendamping desa mundur gara-gara maju sebagai Caleg tidak berdasar.
Dalam ketentuan tersebut memang disebutkan syarat khusus bagi para Caleg di mana jika mereka adalah kepala daerah, TNI, Polri, pegawai kementerian/lembaga, maupun karyawan BUMN harus mengundurkan diri.
“Tetapi pendamping desa ini bukan karyawan Kemendes PDT. Mereka ini adalah tenaga profesional yang dikontrak untuk kurun waktu tertentu. Dengan demikian tidak masuk klasifikasi yang harus mengundurkan diri,” ujarnya.(AB)