A1news.co.id|Aceh Utara – Kasus dugaan penyerobotan tanah di Baktiya, Aceh Utara, telah memicu perhatian publik dan menimbulkan pertanyaan tentang keefektifan sistem hukum dan administrasi desa dalam menangani konflik agraria.
Laporan yang diajukan oleh Asmah Yunus, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN), kepada Polres Aceh Utara pada 10 April 2025, telah membuka diskusi tentang pentingnya dokumentasi yang akurat dan peran perangkat desa dalam verifikasi hak kepemilikan tanah.
Tanah warisan yang dimiliki oleh Syafruddin Bin H. Rani Daud, ayah Asmah Yunus, menjadi sengketa setelah Ramli Bin Amad Daud, keponakan Syafruddin, diduga menyerobot dan menggadaikan tanah tersebut kepada pihak ketiga tanpa izin ahli waris pada 19 Oktober 2024.
Bukti berupa kwitansi bermaterai senilai Rp10 juta yang ditandatangani oleh Ramli dan diketahui oleh Geuchik Gampong Alue Jamok, Afdi, menjadi bukti utama dalam kasus ini.
Berdasarkan Pasal 182 Kompilasi Hukum Islam, Ramli tidak memenuhi syarat sebagai ahli waris karena posisinya sebagai keponakan pewaris.
Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon telah menolak eksepsi “kurang para pihak” yang diajukan pihak tergugat, menegaskan bahwa Ramli bukan ahli waris.
Kasus ini menunjukkan bahwa konflik agraria masih sering terjadi di Indonesia, terutama ketika dokumen warisan tidak tersusun rapi dan perangkat desa dinilai lalai dalam melakukan verifikasi hak kepemilikan tanah.
Oleh karena itu, perlu dilakukan peningkatan kapasitas perangkat desa dalam melakukan verifikasi hak kepemilikan tanah dan menangani konflik agraria.
Selain itu, penting untuk memperkuat sistem dokumentasi warisan dan kepemilikan tanah untuk mencegah konflik agraria di masa depan.
Kasus penyerobotan tanah di Baktiya, Aceh Utara, menjadi pelajaran penting bagi masyarakat dan pemerintah dalam menangani konflik agraria dan meningkatkan keefektifan sistem hukum dan administrasi desa.
Dengan demikian, diharapkan kasus-kasus serupa dapat dicegah dan hak-hak masyarakat dapat terlindungi.(RF)