A1news.co.id|Subulussalam – Masa depan agraria masyarakat Kecamatan Penanggalan tampaknya kian suram. Persinggungan lahan antara warga dan wilayah konsesi PT Laot Bangko kian meluas, seiring dugaan pencabutan tapal batas resmi yang sebelumnya dipasang oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Salah satunya adalah Patok 90, yang menjadi penanda batas legal kini tak lagi ditemukan. Dalam perkembangannya, batas wilayah HGU bahkan disebut-sebut telah bergeser masuk ke kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Kota Subulussalam.(07/06).
Pergeseran batas ini memunculkan kecurigaan publik akan manipulasi tata ruang dan pengabaian hukum atas hak-hak masyarakat adat dan lokal.
Penetapan ulang batas HGU yang tidak partisipatif memicu ketegangan sosial baru, memperparah konflik yang sudah menahun akibat ketidakjelasan status lahan di wilayah ini.
Konflik meletup ketika pembangunan infrastruktur Paret Gajah oleh perusahaan justru membuka tabir perampasan ruang hidup warga. Tak sedikit lahan masyarakat—dengan status SKT, akta jual beli, hingga SHM diduga ikut terseret dalam peta konsesi perusahaan.
Bahkan mereka yang belum memiliki dokumen formal pun terdampak, memperjelas cacat substansial dalam proses perolehan dan perpanjangan HGU PT Laot Bangko.
Konsesi Membengkak, Hak Masyarakat Tersingkir
Dalam sebuah forum antar kampong di Kecamatan Penanggalan, tokoh masyarakat seperti Denni Bancin, Rinto Berutu, dan keturunan Pertaki Jontor secara terbuka menyampaikan keresahan atas tidak adanya penyelesaian klaim masyarakat.
PT Laot Bangko dinilai telah melanggar prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent)—sebuah syarat mutlak untuk proyek berbasis lahan besar.
Pusahaan tidak bisa lagi berlindung di balik izin. Lahan yang belum diselesaikan klaimnya tidak boleh disentuh, apalagi dibangun.
Bahkan jalan perusahaan pun tidak boleh melewati pemukiman warga,” tegas Anton Tinendung, Direktur LSM Suara Putra Aceh.
Plasma Hanya Janji, Bukan Solusi
Plasma 20%—yang seharusnya diberikan kepada masyarakat sebagai kompensasi kehadiran perkebunan besar—hingga kini hanya menjadi janji kosong.
Dalam praktiknya, tidak ada kejelasan berapa luas yang sudah dialokasikan, bagaimana mekanisme pembagian, dan siapa penerimanya. Padahal, hal ini telah diatur jelas dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 18 Tahun 2021.
Masyarakat dibiarkan buta informasi, tanpa peta, tanpa akses ke data. Bahkan, keterlibatan tokoh masyarakat adat dalam pengambilan keputusan pun diabaikan.
CSR: Seremonial Tanpa Substansi
Program CSR PT Laot Bangko pun tak luput dari sorotan. Alih-alih menjadi alat pemberdayaan, CSR lebih mirip kosmetik citra: pembagian sembako saat hari raya, atau mendirikan tenda saat event seremonial.
CSR bukan soal memberi parsel Lebaran. Ini soal membangun air bersih, fasilitas kesehatan, pelatihan petani, dan penguatan ekonomi lokal,” ujar Anton.
Dalam UU No. 40/2007 Pasal 74 disebutkan bahwa perusahaan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan, bukan menjadikannya sebagai ajang pencitraan.
Menuju Gugatan Kolektif, HGU Terancam Gagal
Jika situasi ini terus dibiarkan, masyarakat Kecamatan Penanggalan menyatakan siap menempuh jalur hukum.
Mereka akan mengajukan keberatan resmi atas status HGU PT Laot Bangko dan mendesak negara melakukan audit menyeluruh atas legalitas dan pelaksanaan kewajiban perusahaan.
LSM Suara Putra Aceh menegaskan, pelanggaran terhadap prinsip transparansi, keadilan lahan, dan pengabaian lingkungan hidup dapat menjadi dasar pembatalan HGU.
Konflik agraria di Kota Subulussalam telah memasuki fase kritis. Ketika tapal batas resmi digeser, tanah adat dilangkahi, dan suara masyarakat diredam, maka kita sedang menyaksikan runtuhnya keadilan agraria di depan mata.
Apakah pemerintah akan membiarkannya? Atau akan hadir sebagai penegak keadilan sebelum benang kusut ini makin tak terurai?(Ramona)