A1news.co.id|Takengon – Aroma busuk yang menyeruak bak bunga bangkai di tengah pemerintah Aceh Tengah .
Kali ini, skandal yang menyeret dua isu besar sekaligus,dugaan korupsi ratusan juta rupiah oleh Reje Karang Bayur dan gratifikasi berkedok pinjaman oleh oknum pejabat Inspektorat,menjadi perhatian serius di tengah masyarakat.
Tekanan terhadap lembaga pengawas internal pemerintah daerah itu kian menguat, menyusul tuntutan agar kasus-kasus ini segera dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Aceh Tengah.
Kasus pertama menyeruak setelah Inspektorat Aceh Tengah merilis Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas penggunaan dana desa Karang Bayur sejak tahun 2015 hingga 2023.
Dalam laporan bernomor 061/2878/2024, yang disampaikan kepada Bupati Aceh Tengah pada 25 November 2024, ditemukan potensi kerugian negara mencapai ratusan juta rupiah.
Laporan tersebut mengindikasikan adanya penyimpangan serius dalam pengelolaan dana desa, yang diduga kuat melibatkan Reje Karang Bayur.
Berdasarkan prinsip akuntabilitas dan kewajiban hukum, hasil audit tersebut seharusnya segera dilimpahkan ke Kejaksaan untuk proses penyidikan lebih lanjut.
Namun hingga kini, publik belum melihat langkah konkret dari Inspektorat. Aktivis dan masyarakat menilai lambannya penanganan sebagai bentuk ketidaktegasan institusi pengawas terhadap dugaan pelanggaran hukum.
“Jika Inspektorat sudah memiliki bukti cukup dalam LHP, maka tidak ada alasan untuk menunda pelimpahan ke kejaksaan. Keadilan dan transparansi harus ditegakkan,” kata, Ruhdi Sahara.
Di saat yang bersamaan, perhatian publik tertuju pada dugaan gratifikasi yang melibatkan oknum pejabat Inspektorat berinisial MP, yang diduga menerima “uang pinjaman pribadi” dari pihak yang tengah diperiksa. Pola ini dikenal sebagai modus klasik untuk menyamarkan praktik gratifikasi dalam birokrasi.
Ironisnya, MP diketahui sudah tidak masuk kantor selama beberapa bulan terakhir, tanpa keterangan resmi. Ketidakhadirannya dianggap sebagai upaya menghindari proses klarifikasi internal dan bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, terutama:
Pasal 3 huruf h dan i, tentang kewajiban PNS masuk kerja dan menjalankan tugas kedinasan dengan penuh tanggung jawab;
Pasal 11, yang menyatakan bahwa ketidakhadiran lebih dari 10 hari kerja berturut-turut tanpa keterangan dapat dikenai sanksi berat berupa pemberhentian.
“Kalau dia tidak merasa bersalah, kenapa tidak hadir ke kantor dan menjalankan tugas? Ini bukan pelanggaran ringan, ini bentuk pembangkangan terhadap hukum,” tegas Ruhdi.
Ruhdi meminta Bupati Aceh Tengah segera menonaktifkan MP, serta menginstruksikan audit internal dan verifikasi data kehadiran MP sejak awal tahun 2025. Ia juga mendesak BKPSDM Aceh Tengah untuk mengambil langkah administratif yang tegas.
Kombinasi dua kasus ini korupsi dana desa dan gratifikasi pejabat pengawas,mengguncang kredibilitas Inspektorat Aceh Tengah. Ruhdi menilai, jika tidak segera ditindak, hal ini akan menjadi Preseden Buruk dan Catatan Hitam bagi penegakan integritas dan supremasi hukum di lingkungan birokrasi.
“Publik sudah muak dengan permainan seperti ini. Jangan tunggu masyarakat kehilangan total kepercayaan. Bupati, Inspektorat, dan Kejaksaan harus bergerak sekarang,” pungkas Ruhdi.
Kini, sorotan tajam masyarakat tertuju pada Pemerintah Aceh Tengah. Apakah mereka akan memilih jalan transparansi dan penegakan hukum, atau justru membiarkan skandal ini menguap bagaikan asap hilang di atas awan.(Tim)