A1news.co.id|Opini – Di tengah gempuran bom dan suara senjata yang tidak pernah henti-hentinya, “Gaza menangis” tidak hanya menggambarkan air mata secara nyata tetapi juga mewakili penderitaan yang dialami oleh penduduk gaza karena kehilangan keluarga, trauma yang berkepanjangan, serta tempat tinggal yang rata dengan tanah.
Tangisan gaza adalah metafora yang kasat mata bagi panggilan hati nurani global yang terabaikan oleh para pemimpin dunia dan masyarakat internasional, seolah mereka buta terhadap kondisi yang sedang terjadi di Gaza, tangisan yang melambangkan jeritan batin dan luka yang belum sembuh masyarakat gaza.
Dunia menutup telinga? Ya, Mungkin karena suara ledakan belum cukup keras untuk mengguncang hati nurani mereka yang tertidur.
Dunia lebih memlih diam ditengah jeritan yang menggema dari tanah gaza. Mereka sibuk menjaga kepentingan politik, bagi mereka nyawa di gaza tidak seberapa dan berharga dengan kepentingan ekonomi yang mereka incar. Maka, ketika rakyat gaza menangis, dunia pura-pura tak dengar.
Konflik antara Israel dan Palestina adalah konflik militer dan politik yang sedang berlangsung dari abad ke 19 hingga sekarang.
Konflik ini menjadi yang terpanjang didunia dan paling rumit, masalah utama dari konflik ini adalah status kepemilikan tanah “Yerusalem”.
Namun, dunia kembali menunjukan kemunafikannya dengan menutup mata pada situasi di jalur gaza, padalah sebelumnya mereka begitu murka saat Rusia meninvasi ukraina.
*Bukan Sekadar Konflik, Tapi Tragedi Kemanusiaan*
Apa yang terjadi di tanah Gaza bukanlah konflik biasa, ini merupakan tragedi kemanusiaan berskala besar dan telah melampaui batas kemanusian dan etika perang.
Konflik ini sudah memasuki babak baru dan semakin parah situasinya, banyak warga sipil yang menjadi korban dari kejahatan perang yang dilakukan oleh israel termasuk anak-anak, perempuan, rumah sakit, tempat ibadah hingga sekolah.
Blokade yang berkempanjangan membuat warga sipil terjebak tanpa akses pangan, air bersih dan layanan medis yang cukup.
Data yang dikutip dari otoritas kesehatan di Gaza dalam sebuah pernyataan Rabu (11/6), dalam 24 jam terakhir, militer Israel menewaskan 120 orang dan melukai 474 lainnya, menjadikan total korban tewas mencapai 55.104 orang dan korban luka-luka mencapai 127.394 orang sejak pecahnya konflik Hamas-Israel pada awal Oktober 2023..
Berdasarkan hukum internasional, serangan yang sengaja dilakukan terhadap penduduk sipil termasuk pembunuhan, penganiayaan dan pemindahan secara paksa, dapat dituntut sebagai kejahatan perang dalam kata lain adalah “Genosida”.
Disini kita tidak hanya membicarakan tentang politik semata, tetapi juga tentang nilai dasar yang kemanusian yang harus di perdapatkan, mulai dari hak hidup, aman dan bebas dari ketakutan.
Membiarkan genosida yang sedang berlangsung adalah bentuk yang tidak dibenarkan secara moral dan hukum internasional, bahkan dalam agama.
Respon Dunia Internasional ?
Salah satu ironi terbesar dalam tragedi Gaza adalah standar ganda dunia internasional yang merespon tergantung pada berbagai faktor seperti kepentingan politik, aliansi strategis, atau nilai-nilai yang dianggap penting oleh masyarakat internasional.
Saat Ukraina diserang Rusia, negara-negara Barat cepat bereaksi dengan cara mengecam, memberi bantuan, dan menjatuhkan sanksi. Namun ketika Israel menggempur warga sipil Palestina, dunia justru diam, netral, atau ragu bersikap.
Lembaga internasional PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) yang memiliki fungsi sebagai badan perdamain dan keamanan yaitu dewan keamanan (Security cuncil) tertulis dalam piagam PBB Bab IV tentang “Action with respect to threats, to the peach, breaches of the peace, and acts aggression” artinya menciptakan perdamaian dan keamanan dunia.
Upaya untuk penyelesaian konflik israel dan palestina sudah dilakukan PBB sejak tahun 1947-1988, namun kurangnya dukungan dari negara Arab dan Eropa serta adanya tekanan dari kekuatan hak veto, sehingga tidak menemui titik terang.
Dalam struktur Dewan Keamanan PBB, hak veto menjadi kunci utama dalam mengambil keputusan.
Lima negara Amerika Serikat, Inggris, Prancis, China, dan Rusia yang memiliki kekuasaan untuk menolak resolusi, walaupun telah disetujui oleh mayoritas negara anggota.
Seperti yang tertulis dalam jurnal “Hak Veto Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Kaitan dengan Prinsip Persamaan Kedaulatan” (OJS.unud.ac.id), hak veto adalah warisan sejarah yang diberikan kepada lima negara pendiri PBB pasca Perang Dunia II.
Menurut Diya Yulianti dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran sekaligus pakar hubungan internasional di Timur Tengah dan Afrika, salah satu menjadi penghambat dari resolusi yang implementatif terhadap kemerdekaan palestiana adalah adanya Amerika serikat yang selalu membela israel dengan menggunakan Hak Veto.
Dikutip dari Kompas.com, hingga Desember 2024, AS telah menggunakan hak vetonya sebanyak 45 kali untuk menolak resolusi yang mengkritik Israel.
Penggunaan pertama terjadi pada 1972 saat Israel menyerang Lebanon, dan terakhir pada 18 April 2024, saat AS menolak resolusi yang mendukung Palestina menjadi anggota di PBB.
Pada akhirnya, PBB terkesan lumpuh dan tidak berdaya. Banyak resolusi diveto digunakan oleh negara untuk kepentingan, terutama soal Palestina, sementara lembaga HAM pun enggan menyebut genosida secara tegas.
Sudah saatnya PBB direformasi, termasuk penghapusan hak veto yang jadi penghambat utama keadilan global, meski itu bukan hal mudah.
Apa yang harus kita lakukan ?
Indonesia yang merupakan penduduk muslim terbesar di Asia Tenggara dengan manyoritas sekitar 87%, telah lama memberi dukungan terhadap kemerdekaan palestina dan mengutuk israel.
Indonesia secara konsisten mendesak israel untuk menghentikan tindakan yang menyebabkan terhambatnya proses perdamaian.
Dalam sejarah mencatat, hubungan emosional indonesia dengan palestina sudah terjalin begitu lama, salah satunya melalui dukungan untuk kemerdekaan indonesia oleh palestina melalui Syekh Muhammad Amin Al- Husaini, seorang mufti yang terkenal dikala itu dan juga Muhammad Ali Taher yang merupakan saudagar kaya.
Internasional Union Of Muslim Scholars (IUMS) resmi mengeluarkan fatwa jihad untuk melawan israel dengan menyebutkan agresi ini sebagai kejahatan besar terhadap umat muslim.
Syekh Ali Al- Qaradaghi, sekretaris jenderal IUMS, menyerukan untuk semua muslim di dunia bergerak secara militer, ekonomi, politik demi menghentikan genosida di gaza.
Namun, sebagai manusia biasa yang tidak memiliki akses langsung ke arena diplomatik maupun militer, apa yang bisa kita lakukan untuk menghentikan genosida ini? Selain memperkuat dukungan spiritual melalui doa, ada beberapa langkah konkret yang dapat kita lakukan:
Meningkatkan kesadaran publik dengan menyebarkan informasi yang benar tentang kondisi di Palestina melalui media sosial.
Mendukung organisasi kemanusiaan yang secara langsung membantu korban di Palestina, baik melalui donasi maupun kampanye.
Memboikot produk-produk yang berafiliasi dengan Israel, sebagai bentuk tekanan ekonomi yang efektif.
Salah satu contoh nyata dari dampak boikot adalah saham Unilever Indonesia Tbk (UNVR) yang dilaporkan mengalami penurunan signifikan pada tahun 2023.
Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran kolektif umat dapat memengaruhi pasar dan menjadi bentuk perlawanan yang kuat melalui jalur ekonomi.
Secara garis besar, tragedi Gaza bukan sekadar konflik, melainkan krisis kemanusiaan yang telah merenggut ribuan nyawa tak bersalah.
Dunia yang seharusnya berdiri atas nama Hak Asasi Manusia dan prinsip kemanusiaan justru memilih diam, menutup telinga, seolah-olah tidak terjadi apa-apa di Gaza.
Sudah saatnya dunia membuka batin yang telah lama tertidur, dan mulai melihat dengan jernih apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Ini bukan semata persoalan tanah dan kekuasaan, melainkan tentang hak hidup manusia yang diinjak-injak tanpa rasa kasihan.
Solidaritas global tidak boleh hanya menjadi slogan kosong, global harus hadir dalam wujud nyata, dalam tindakan yang menghentikan kejahatan terstruktur yang terus terjadi di hadapan mata dunia.
Gaza menangis, dan dunia tidak boleh terus pura-pura tuli.
Penulis : Muhammad Shiddiq Al Ghifari, mahasiswa Pascasarjana UIN AR-Raniry Banda Aceh, Prodi Komunikasi dan Penyiaran islam sekaligus peminat mata kuliah Komunikasi Internasional dan Isu-isu Global






















