A1news.co.id|Subulussalam – Sorotan terhadap PT Laot Bangko semakin tajam menyusul dugaan pelanggaran serius dalam proses perolehan Hak Guna Usaha (HGU) yang dinilai menyimpang baik secara prosedural maupun substansial.
Desakan pencabutan HGU perusahaan ini kini secara resmi bergulir ke Gubernur Aceh dan Wali Kota Subulussalam, seiring kuatnya tekanan dari masyarakat adat, warga transmigrasi, hingga organisasi masyarakat sipil.
PT Laot Bangko diduga melakukan pelanggaran aturan perizinan karena tidak melaksanakan proses FPIC (Free, Prior and Informed Consent) — yakni konsultasi terbuka yang wajib dilakukan sebelum proyek dimulai.
“Sejak keluarnya HGU terbaru, tidak ada sosialisasi atau pemberitahuan awal kepada masyarakat,” ungkap Maha, warga Desa Penuntungan dalam pertemuan di Kantor Camat Penanggalan.
Konflik makin memanas setelah perusahaan membangun Paret Gajah, yang mereka klaim sebagai tapal batas wilayah konsesi, namun justru melintasi dan menabrak lahan milik warga transmigrasi.
Proyek ini memicu penolakan luas dari warga setempat dan organisasi masyarakat adat, karena menandakan klaim sepihak atas lahan yang masih bersengketa.
Lebih jauh, peletakan lahan plasma oleh PT Laot Bangko juga menjadi sorotan. Plasma yang semestinya tersebar adil dan proporsional, justru seluruhnya difokuskan ke wilayah Kecamatan Sultan Daulat.
Praktik ini dinilai tidak sesuai dengan amanat undang-undang yang mengatur keterlibatan masyarakat dan pembagian hasil secara adil dalam sistem perkebunan inti-rakyat.
Ironisnya, pola bagi hasil yang dijanjikan pun tak pernah terealisasi sesuai ketentuan.
Merespons situasi ini, LSM Suara Putra Aceh menyerukan penghentian penuh aktivitas operasional PT Laot Bangko.
“Kami mendesak Gubernur Aceh dan Pemko Subulussalam menghentikan seluruh kegiatan PT Laot Bangko sampai adanya penyelesaian konflik yang berpihak pada masyarakat.
Tidak boleh ada aktivitas sebelum dilakukan konsultasi terbuka (FPIC),” tegas Anton Tin, Ketua LSM Suara Putra Aceh.
Data dari Peta Bumi milik BPN menunjukkan bahwa luas resmi HGU PT Laot Bangko di Divisi I hanya 330,86 hektar.
Namun pembangunan Paret Gajah justru melebihi batas ini dan menabrak sekitar 44 hektar lahan transmigrasi milik masyarakat Desa Penuntungan, Kecamatan Penanggalan.
Fakta ini memperkuat dugaan bahwa perusahaan telah melanggar batas konsesi dan menimbulkan konflik agraria yang serius.
Hingga berita ini diturunkan, pihak manajemen PT Laot Bangko belum memberikan klarifikasi terkait tudingan masyarakat dan tuntutan pencabutan HGU. Ketertutupan ini makin memperkuat desakan agar pemerintah bertindak cepat dan tegas.
Saatnya Pemerintah Kota Subulussalam dan Pemerintah Aceh bertindak: menghentikan operasional perusahaan yang diduga menyalahgunakan izin dan melanggar hak-hak dasar masyarakat.
Kedaulatan atas tanah dan keadilan agraria tidak boleh dikorbankan demi kepentingan investasi yang cacat prosedur.(Ramona).