A1news.co.id|Meulaboh – Polemik pemindahan empat pulau dari Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, ke wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, terus menuai kecaman dari berbagai kalangan.
Salah satu suara keras datang dari Amir Mahmud, Pengamat Investasi dan juga mantan Ketua Forum Komunikasi Anak Bangsa (Forkab) Aceh Barat, yang menilai kebijakan tersebut bukan hanya cacat prosedural, tetapi juga mencederai harga diri dan hak historis masyarakat Aceh.
Menurut Amir, keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang tertuang dalam Surat Nomor 300.2.2-2138/2025 tertanggal 25 April 2025, menunjukkan sikap sepihak pemerintah pusat dalam mengambil kebijakan strategis yang berdampak langsung terhadap Aceh.
Ia menyebut bahwa tidak adanya konsultasi atau pelibatan masyarakat lokal dan pemerintah daerah merupakan pelanggaran prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
“Ini bukan hanya soal wilayah administratif semata. Empat pulau itu adalah bagian dari identitas rakyat Aceh.
Memindahkannya tanpa dasar yang kuat dan tanpa persetujuan publik adalah bentuk pengabaian terhadap sejarah dan fakta hukum yang berlaku,” tegas Amir.
Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek telah lama menjadi bagian dari Aceh Singkil.
Keempat pulau tersebut tidak hanya tercatat dalam data kewilayahan Provinsi Aceh sejak 2008, tetapi juga memiliki penduduk yang secara administratif terdaftar sebagai warga Aceh dan memiliki dokumen kependudukan berupa KTP Aceh.
Lebih lanjut, Amir menjelaskan bahwa Pemerintah Aceh telah sejak lama menunjukkan komitmen terhadap pembangunan di kawasan perbatasan, termasuk di empat pulau yang kini dipersoalkan.
Ia menyebutkan beberapa proyek strategis yang telah dibangun dengan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), seperti pembangunan tugu selamat datang dan penanda koordinat pada tahun 2012, rumah singgah, tempat ibadah, hingga pembangunan dermaga pada 2015.
“Ini bukti bahwa Aceh hadir dan membangun wilayah tersebut. Jadi sangat tidak masuk akal jika wilayah itu tiba-tiba dianggap bukan bagian dari Aceh,” tambahnya.
Amir juga menekankan bahwa kebijakan Kemendagri ini tidak bisa dilepaskan dari kecurigaan adanya kepentingan tersembunyi yang mencoba secara perlahan menggeser batas-batas administratif Aceh.
Ia menduga bahwa daerah-daerah yang kaya potensi ekonomi seperti migas dan pariwisata menjadi sasaran perebutan, terutama ketika pengelolaan wilayah tersebut mulai menunjukkan prospek yang menguntungkan.
“Kami mencium aroma penggusuran administratif yang sistematis. Jangan sampai ini menjadi pola baru dalam merebut wilayah yang kaya sumber daya.
Ini sangat berbahaya dan berpotensi menimbulkan ketegangan horizontal antar daerah,” kata Amir dengan nada prihatin.
Ia juga mengingatkan bahwa Aceh memiliki kekhususan yang diatur dalam konstitusi. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) secara tegas menetapkan batas wilayah Aceh, termasuk wilayah laut dan pulau-pulaunya.
Selain itu, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2015 juga secara eksplisit mencatat keberadaan desa dan kecamatan di Aceh Singkil yang mencakup keempat pulau tersebut.
“Jadi jika kita bicara hukum, maka dasar hukum Aceh atas empat pulau itu sangat jelas dan sah. Justru keputusan Kemendagri yang patut dipertanyakan legalitasnya,” ujarnya.
Menurut Amir, keputusan sepihak seperti ini bukan hanya melemahkan semangat otonomi daerah, tetapi juga berpotensi membangkitkan kembali luka lama masyarakat Aceh.
Ia menyinggung sejarah konflik Aceh dan proses perdamaian pasca-MoU Helsinki, yang menghadirkan harapan besar bagi masyarakat Aceh akan keadilan, pengakuan identitas, dan penghormatan terhadap hak-hak kekhususan.
“Polemik seperti ini sangat sensitif. Jangan sampai mengoyak kembali luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Kami tidak ingin generasi muda Aceh kembali dibayangi oleh trauma masa lalu karena konflik yang berkepanjangan,” katanya.
Amir Mahmud secara tegas mendesak agar Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian segera memberikan klarifikasi resmi, membuka seluruh data dan proses yang melatarbelakangi pengambilan keputusan pemindahan wilayah tersebut, dan mempertimbangkan pencabutan kebijakan yang telah dikeluarkan.
Ia juga menuntut permintaan maaf kepada masyarakat Aceh atas kekisruhan yang terjadi akibat kebijakan ini.
“Kami minta data itu dibuka ke publik. Jangan ada yang ditutupi. Jika memang dasar pemindahan itu kuat, sampaikan kepada rakyat Aceh. Tapi jika ternyata itu hanya akal-akalan birokrasi, maka harus segera dihentikan,” ujarnya tegas.
Lebih jauh, Amir meminta agar Pemerintah Aceh, baik eksekutif maupun legislatif, tidak tinggal diam menghadapi situasi ini.
Ia mendorong agar Gubernur Aceh, DPRA, dan juga para wakil rakyat Aceh di DPR RI dan DPD RI mengambil langkah konkret melalui jalur hukum dan diplomasi.
“Sudah saatnya semua elemen Aceh bersatu. Ini bukan sekadar soal empat pulau. Ini tentang eksistensi dan martabat kita sebagai bangsa Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia,” serunya.
Amir juga menyoroti pentingnya pendekatan hukum dan diplomasi yang adil dalam menyelesaikan konflik ini.
Menurutnya, perbedaan batas wilayah seharusnya diselesaikan melalui mekanisme yang transparan, partisipatif, dan mengedepankan kepentingan masyarakat lokal.
“Jangan jadikan rakyat sebagai korban kebijakan yang gegabah. Jika ini dibiarkan, maka akan menjadi preseden buruk dalam pengelolaan wilayah administratif di seluruh Indonesia,” tegasnya.
Ia juga memperingatkan bahwa potensi konflik bisa semakin besar jika polemik ini tidak segera diselesaikan.
Ketidakjelasan status wilayah dan identitas administratif dapat memicu gesekan sosial, terutama di wilayah perbatasan yang selama ini hidup damai dan tenang.
“Saya khawatir jika situasi ini terus digantung, maka akan muncul resistensi dari masyarakat. Jangan biarkan situasi ini berkembang ke arah yang tidak kita inginkan. Pemerintah harus hadir dan menyelesaikannya dengan bijak,” pungkasnya.
Amir Mahmud menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa empat pulau tersebut bukan sekadar titik koordinat di peta, melainkan bagian dari sejarah panjang, identitas kultural, dan hak kepemilikan rakyat Aceh yang harus dihormati dan dijaga oleh negara.(*)