A1news.co.id|Subulussalam –Di tengah upaya percepatan pembangunan dan akuntabilitas keuangan desa, keterlibatan sejumlah pihak di luar struktur desa—termasuk aparatur sipil negara (ASN) dan pendamping Profesional menjadi bagian dari strategi kolaboratif yang semakin diakui efektivitasnya.
Langkah ini bukan pelanggaran, melainkan bentuk sinergi. Beberapa ASN yang secara pribadi memberi pendampingan administrasi kepada aparatur kampong justru terbukti mendorong penyusunan dokumen secara tepat waktu dan sesuai petunjuk teknis (juknis). imbuh Anton,suara putra Aceh,
“Kita butuh percepatan. Jika ada ASN yang secara sukarela membantu, itu langkah mulia selama tidak menyimpang dari regulasi,” ungkap salah satu camat di wilayah Subulussalam yang menjadi inisiator keterlibatan multi-pihak dalam penataan administrasi kampong.tidak ada salahnya pembuatan APBDes dan lpj dipihak ke tigakan,
Program Penataan Administrasi Desa, yang menjadi tulang punggung dalam pelaksanaan APBG (Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong), kerap terhambat oleh kapasitas sumber daya manusia yang belum merata.
Di sinilah kolaborasi berperan: pendampingan dari pihak-pihak yang memahami birokrasi dan sistem pengelolaan keuangan justru mempercepat pencairan dana, mengurangi risiko temuan BPK, dan meningkatkan kualitas laporan desa.
Praktik seperti ini kini mulai dicontoh di beberapa kecamatan. Misalnya, di Longkib dan Sultan Daulat, sejumlah ASN dari dinas teknis ikut memberi masukan dalam penyusunan RAB dan pelaporan SPJ kampong.
Bagi sebagian kalangan, kekhawatiran muncul soal potensi konflik kepentingan. Namun, tokoh masyarakat menyatakan bahwa selama pendampingan dilakukan secara terbuka dan sesuai batas kewenangan, hal itu bukanlah bentuk pelanggaran. Justru dapat menjadi model kolaborasi antar sektor.
“Kalau niatnya membantu, tidak mengambil alih, dan tetap menghormati otonomi desa, apa salahnya? Malah itu bentuk gotong royong birokrasi,” ujar seorang kepala desa di Simpang Kiri.
Dalam kerangka kebijakan nasional, penataan administrasi desa memang harus akuntabel. Namun pemerintah juga menyadari bahwa tidak semua desa memiliki kapasitas yang sama.
Oleh sebab itu, keberadaan pihak ketiga baik ASN, LSM, bisa menjadi jembatan untuk menciptakan sistem tata kelola yang lebih rapi dan efektif.
Kesimpulannya?
Keterlibatan pribadi ASN atau elemen lain dalam membantu desa bukanlah soal yang harus dicurigai, tetapi dimaknai sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan sosial.
Di era kolaboratif ini, birokrasi yang terbuka terhadap bantuan justru lebih cepat mencapai target pembangunan.
Masa depan desa tak lagi tergantung pada satu pintu, melainkan terbuka lewat sinergi.tutup Anton Tenendung, ketua LSM Suara Putra Aceh.