A1news.co.id|Takengon – Di bawah bayang-bayang hijau Bukit Gayo, konflik agraria kembali mengusik nurani publik.
Bukan sekadar tumpang tindih data atau salah administrasi, tetapi menyangkut rasa keadilan dan hak hidup warga kecil yang perlahan-lahan terkikis oleh sistem yang mestinya melindungi.
Hasanah (50), warga Desa Pantan Tengah, Kecamatan Rusip Antara, tak kuasa menahan tangis saat menceritakan nasib tanah rumahnya yang selama 23 tahun ia tempati bersama suaminya, Ismuha (52), kini telah bersertifikat atas nama orang lain.
“Saya tidak mengerti bagaimana bisa. Kami tinggal di sini sejak 2002, membeli tanah ini secara sah, disaksikan pejabat desa, tetapi tiba-tiba keluar sertifikat atas nama H. Sahadat,” ujarnya dengan suara bergetar kepada awak media, Senin (8/7/2025).
Dugaan Maladministrasi dan Kecerobohan Aparatur
Permohonan peningkatan status tanah yang diajukan Hasanah pada tahun 2023 ke Kantor Camat Rusip Antara justru menjadi pintu masuk dari ketidakadilan yang selama ini tersembunyi.
Bukannya mendapatkan kepastian hak, ia justru diberitahu bahwa tanah tersebut dalam status sengketa.
“Pak Camat bilang tanah ini sedang bersengketa, padahal kami tinggal dan membangun rumah tanpa pernah ada konflik.
Bahkan H. Sahadat, yang sekarang mengklaim sebagai pemilik lewat sertifikat, dulu ikut membantu kami membangun rumah,” tambah Hasanah dengan mata berkaca-kaca.
Ironisnya, sertifikat Hak Milik dengan NIB: 01.09.000003676.0 atas nama H. Sahadat, diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh Tengah pada tahun 2024 dan resmi keluar tahun 2025.
Proses penerbitan ini mengundang tanda tanya besar, terutama karena keberadaan fisik tanah yang telah dihuni lebih dari dua dekade dan dilengkapi dengan surat jual beli yang sah secara adat dan administrasi.
Tanda Tangan Kepala Desa dan Tokoh Masyarakat Dikesampingkan
Surat jual beli Hasanah bukan surat bawah tangan. Dokumen yang dibuat pada tahun 2002 itu disahkan oleh Reje (Kepala Desa) saat itu, Salmansyah, dengan tanda tangan, stempel resmi desa, serta disaksikan Sekretaris Desa Briyanto dan tokoh masyarakat Sulaiman A. Sadar. Namun kini, keabsahan dokumen tersebut justru dipertanyakan.
“Apakah tidak ada verifikasi lapangan oleh BPN? Apakah aparatur desa dan kecamatan tidak memberikan catatan riil terkait penguasaan fisik dan status sosial tanah ini? Ini adalah bentuk kelalaian administratif yang berdampak pada hilangnya hak rakyat,” ujar salah seorang aktivis pertanahan di Aceh Tengah yang menyoroti kasus ini.
Desakan Audit dan Evaluasi Proses Sertifikasi Tanah
Kasus Hasanah menyingkap borok lama dalam sistem pertanahan: minimnya kontrol terhadap proses verifikasi faktual dan lemahnya integritas aparat desa dan pertanahan.
Banyak pihak kini mendesak dilakukan audit menyeluruh terhadap prosedur Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) maupun permohonan sporadik yang melibatkan aparatur dari desa hingga ke tingkat kabupaten.
“Ini bukan sekadar tumpang tindih data, ini adalah persoalan ketidakadilan struktural. Seorang ibu rumah tangga yang sudah menempati tanah selama 23 tahun bisa dikalahkan oleh selembar sertifikat yang keluar tanpa dasar penguasaan nyata,” tegas salah seorang pengamat hukum pertanahan lokal.
Muncul dugaan bahwa proses sertifikasi atas nama H. Sahadat dilakukan tanpa melibatkan pemeriksaan fisik dan sosial di lapangan, dan kemungkinan besar tanpa mempertimbangkan keberadaan dan penguasaan Hasanah dan keluarga selama dua dekade lebih.
Keadilan yang Masih Menggantung
Dalam suara yang lirih, Hasanah hanya berharap satu hal: kebenaran ditegakkan, dan haknya dikembalikan.
“Kami ini rakyat kecil. Tak tahu hukum, tak kenal orang dalam. Rumah ini satu-satunya harta kami. Kami hanya mohon keadilan,” ujarnya sembari menatap tanah yang kini secara hukum bukan lagi miliknya.
Kasus ini menjadi pelajaran pahit betapa masih rentannya warga miskin terhadap manipulasi administrasi pertanahan.
Di Aceh Tengah, kisah seperti Hasanah bukan yang pertama dan bisa jadi bukan yang terakhir jika tidak ada intervensi serius dari instansi terkait.
Pemerintah daerah, BPN, dan aparat penegak hukum dituntut untuk segera turun tangan, tidak hanya menyelesaikan kasus ini secara adil, tetapi juga membenahi sistem yang telah menciptakan ketimpangan dalam penguasaan dan kepemilikan tanah.(WD)