A1news.co.id|Takengon – Kasus kekerasan berulang terhadap seorang perempuan berinisial RH dalam komunitas Zumba di Aceh Tengah yang sempat terabadikan dalam sebuah video viral kembali menjadi sorotan tajam dan mendapat perhatian serius, kali ini dari Tokoh Nasional Hak Asasi Perempuan, Ir. Samsidar, mantan Komisioner Komnas Perempuan periode 1998–2006.
Melalui pernyataan resminya yang di sampaikan di sebuah Cafe, Ir. Samsidar mengaku terkejut dan geram setelah melihat video insiden kekerasan tersebut, kekerasan yang terjadi di salah satu aula Hotel publik di Aceh Tengah.
Ia menyebut bahwa tindakan kekerasan yang terekam dalam video itu bukan hanya kekerasan biasa, tetapi kekerasan yang berlapis, terencana dan berbasis gender.
“Saya tidak sanggup menonton sampai habis saat pertama kali menyimak videonya. Bagaimana mungkin kekerasan sebrutal itu terjadi di hadapan banyak orang, dan dibiarkan? Saya bahkan mengira ini bukan terjadi di Takengon,” ucap Samsidar, Selasa (16/7/2025).
Menurutnya, penyimpulan aparat penegak hukum yang mengkategorikan kasus ini sebagai tindak pidana ringan (Tipiring) terlalu tergesa-gesa dan terkesan tidak objektif.
Ia menilai ada kekeliruan dalam memahami konteks dan rangkaian kekerasan yang telah terjadi sejak tahun 2023.
“Ini bukan insiden spontan. Ini kekerasan berulang,baik fisik, psikis, bahkan ekonomi. Korban diserang dari berbagai sisi, termasuk reputasinya di media sosial. Ini bukan luka yang bisa sembuh dalam seminggu,” tegas Samsidar.
Ia juga menyoroti bagaimana korban, yang diketahui memiliki anak-anak kecil, mengalami kerugian multidimensi,fisik, psikis, sosial, hingga ekonomi, tuduhan sepihak sebagai “Pelakor” juga memperburuk tekanan yang dialami korban.
“Kekerasan ini adalah bentuk nyata dari kekerasan berbasis gender. Hanya karena perempuan diasumsikan memiliki hubungan dengan suami orang lain, lantas merasa berhak menghukum dan menganiaya sesama perempuan. Di mana logika keadilan kita?” kata Samsidar, yang kini menjabat sebagai pengurus LBH APIK Aceh dan Ketua Dewan Pengawas PERMAMPU Sumatera.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa kasus ini tidak hanya mencerminkan kegagalan dalam perlindungan hukum, tapi juga kegagalan moral masyarakat dewasa.
“Apa yang anak-anak kita pelajari dari kekerasan ini? Jika orang dewasa saja bisa menyaksikan atau melakukan kekerasan tanpa intervensi, bagaimana kita bisa mencegah perundungan di sekolah atau kekerasan antaranak di masa depan?” Tungkasnya.
Samsidar juga mempertanyakan tanggung jawab penyelenggara fasilitas publik, dalam hal ini pengelola hotel tempat kejadian, yang dianggap lalai dalam menjamin rasa aman bagi pengguna ruang publik.
“Tempat publik harus aman. Pemilik dan pengelola wajib memiliki protokol pencegahan dan perlindungan. Tidak bisa lepas tangan ketika ada kekerasan terjadi di dalam ruang mereka,” Ujarnya.
Dalam penutup pernyataannya, Samsidar menyerukan agar penegak hukum melihat kasus ini secara utuh dan dengan perspektif korban.
Ia menekankan bahwa hukum tidak hanya bicara sanksi, tapi juga harus memberi keadilan dan perlindungan, serta menjadi sarana pendidikan sosial.
“Saya berharap kasus ini jadi pelajaran penting bagi kita semua. Tidak ada alasan untuk membenarkan kekerasan, apalagi dilakukan oleh dan terhadap sesama perempuan. Kita harus menghentikan budaya saling menghukum tanpa hukum, apalagi dengan kekerasan.”(*)