A1news.co.id|Lhok Sukon – Gelombang kekecewaan dan kemarahan publik membuncah di Kecamatan Cot Girek, kabupaten Aceh Utara, setelah tersebar undangan resmi kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) bagi Imam Gampong yang digelar oleh lembaga Pengembangan Kibajakan Pemerintah (LPKP.)
Pasalnya, dalam brosur undangan tersebut. Setiap desa/Kampung diwajibkan membayar Rp7.500.000 yang bersumber dari dana desa.
Ini sebuah angka yang dinilai sangat mencurigakan dan tak masuk akal, untuk sebuah pelatihan yang tidak jelas manfaat maupun tujuannya.
Tokoh masyarakat Cot Girek, Edi Saputra alias Aki Lhe, menyebut kegiatan ini sebagai bentuk “korupsi berjamaah yang dibungkus legalitas.”
Ia menilai pelaksanaan Bimtek ini bukan upaya meningkatkan kapasitas aparatur desa, melainkan hanya akal-akalan untuk menguras anggaran dana desa secara sah di atas kertas.
“Ini bukan lagi pembinaan. Ini merupakan sudah perampokan anggaran desa, dengan cara yang sangat sistematis.
Kegiatan seperti ini tidak berdampak apa-apa untuk rakyat. Ini hanya modus memperkaya kelompok tertentu di balik nama pelatihan, tegas Aki Lhe, Senin (24/06/2025).
Ia juga mengkritik keras para keuchik yang dianggap turut menjadi bagian dari praktik pembiaran ini, bahkan cenderung tunduk demi menjaga relasi dengan pihak penyelenggara. Tambahnya.
Menurut informasi yang beredar, Bimtek ini akan diikuti oleh seluruh gampong di Cot Girek.
Jika dikalkulasi, nilai total yang digelontorkan dari dana desa mencapai ratusan juta rupiah. Namun ironisnya, tak ada transparansi terkait materi pelatihan, narasumber, atau output dari kegiatan tersebut.
“Ini bukan pertama. Setiap tahun selalu ada kegiatan fiktif model begini. Dana desa jadi ladang basah bagi oknum yang ingin cepat kaya.
Kami rakyat kecil cuma bisa melihat proyek-proyek kertas yang habis dalam laporan, tapi nihil hasil di lapangan, tambah Aki Lhe.
Ia pun mendesak Bupati Aceh Utara untuk segera menghentikan kegiatan Bimtek ini dan membatalkan pencairan dana, serta meminta Inspektorat dan APIP untuk segera melakukan audit khusus terhadap penggunaan dana desa yang berbau formalitas dan mark-up anggaran.
Sejumlah sumber dari kalangan keuchik yang tak ingin disebutkan namanya mengaku mendapat tekanan agar mengikuti kegiatan ini. Jika tidak, mereka khawatir akan “dicoret” dari program-program bantuan berikutnya.
Hingga kini, tidak ada keterangan resmi dari pihak LPKP selaku penyelenggara, maupun Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong Aceh Utara yang seharusnya menjadi pembina kegiatan Desa.
Jika praktik-praktik semacam ini terus dibiarkan, maka semangat pemberdayaan desa akan mati pelan-pelan, digantikan oleh budaya laporan tanpa kerja nyata.
Dan rakyat? Seperti biasa, hanya menjadi penonton dari permainan uang yang tak pernah menyentuh kehidupan mereka, ungkap Edi menutup pembicaraan.(AR)