A1news.co.id|Meulaboh – Wacana audit terhadap dana Corporate Social Responsibility (CSR) milik PT Mifa Bersaudara yang diprakarsai oleh otoritas lokal di Aceh Barat menuai polemik.
Inisiatif ini disebut-sebut bukan berasal dari permintaan perusahaan, melainkan hasil keputusan sepihak dari otoritas daerah yang ingin terlibat langsung dalam pengawasan dana CSR.
Langkah tersebut dinilai dapat memicu ketegangan antara dunia usaha dan otoritas publik serta memberikan dampak negatif terhadap iklim investasi.
Kritik keras datang dari berbagai kalangan, salah satunya Amir Mahmud, pengamat investasi sekaligus mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Meulaboh.
Ia menegaskan bahwa CSR merupakan tanggung jawab sosial perusahaan yang pengaturannya mengacu pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012.
Dengan demikian, menurut Amir, ranah pengelolaan dan pengawasan dana tersebut tidak termasuk dalam wewenang lembaga pengawasan internal daerah.
“Setiap lembaga punya batas tugas masing-masing. Ketika lembaga pengawasan daerah mencoba mengaudit dana CSR, itu berarti telah melampaui kewenangan yang sah.
Dana CSR adalah bagian dari manajemen internal perusahaan, bukan anggaran negara atau daerah,” kata Amir.
Ia mengingatkan bahwa langkah intervensif semacam itu bisa menjadi sinyal negatif bagi investor yang tengah melirik Aceh Barat sebagai tujuan investasi.
Dalam konteks daerah yang sedang berjuang memulihkan ekonomi pascakonflik, kehadiran sektor pertambangan dan energi menjadi pilar utama penggerak roda ekonomi.
PT Mifa, misalnya, telah memberikan kontribusi signifikan dalam hal lapangan kerja, perputaran ekonomi, serta kegiatan sosial berbasis CSR yang menyasar masyarakat lokal.
“Investor tentu ingin kepastian dan rasa aman. Kalau mereka melihat ada potensi intervensi yang melampaui batas hukum, maka kepercayaan akan menurun.
Ini bukan hanya soal membela perusahaan, tapi bagaimana kita menciptakan iklim usaha yang stabil dan adil,” ujarnya.
Amir juga menegaskan bahwa jika memang terdapat dugaan penyelewengan dalam penggunaan dana CSR.
Audit sebaiknya dilakukan oleh lembaga independen yang kompeten dan bukan lembaga pemerintah daerah yang rentan terhadap tarik-menarik kepentingan politik.
Di sisi lain, muncul narasi pembelaan dari sejumlah pihak yang mendukung langkah otoritas lokal.
Mereka menganggap audit terhadap CSR adalah bentuk kontrol sosial yang dibutuhkan agar dana perusahaan benar-benar menyentuh kepentingan masyarakat.
Iskandar Hasan, salah satu tokoh pemuda Aceh Barat, menyatakan dukungan penuh terhadap kebijakan yang diambil otoritas daerah saat ini, dengan alasan transparansi dan perlindungan terhadap kepentingan publik.
“Kami masyarakat tidak akan tinggal diam jika pemimpin kami diganggu hanya karena mencoba membela kepentingan rakyat.
PT Mifa harus sadar bahwa mereka beroperasi di atas tanah masyarakat. Kalau rakyat sudah merasa tidak dihargai, tentu akan muncul gelombang penolakan yang sulit dibendung,” ujar Iskandar.
Iskandar juga menyoroti pentingnya menjaga hubungan baik antara perusahaan dan komunitas lokal.
Ia memperingatkan bahwa apabila gesekan ini tidak segera diselesaikan secara damai, potensi konflik horizontal bisa meningkat.
“Bayangkan jika ribuan masyarakat yang merasa kecewa turun ke jalan. Ini bukan ancaman, tapi gambaran dari potensi sosial yang bisa terjadi jika ketegangan terus dibiarkan tanpa solusi. Semua pihak harus menahan diri dan membuka ruang dialog,” tambahnya.
Menurut pengamatan para analis lokal, dinamika yang berkembang saat ini menunjukkan adanya ketegangan struktural antara otoritas publik dan sektor swasta, terutama di wilayah dengan latar belakang otonomi khusus dan sejarah konflik seperti Aceh Barat.
Oleh karena itu, semua pihak diminta berhati-hati dalam mengambil langkah agar tidak memicu krisis yang lebih besar.
Amir Mahmud kembali menekankan pentingnya dialog terbuka dan pendekatan hukum yang berimbang dalam menyelesaikan persoalan ini.
Ia menegaskan bahwa keputusan yang diambil berdasarkan dorongan politik sesaat hanya akan merugikan pembangunan jangka panjang dan memperburuk ketidakpastian hukum.
“Jika ada dugaan pelanggaran, serahkan pada aparat penegak hukum yang berwenang. Jangan tarik semua urusan ke ranah politik atau dijadikan alat tekanan oleh pihak manapun.
Kalau kita ingin membangun daerah ini secara sehat, maka hukum dan kepercayaan harus dijaga,” tutupnya.(*)