A1news.co.id|Takengon — Isu pencemaran nama baik yang menyeret Ihwan dan Sukurdi dalam pusaran pengelolaan keuangan Badan Usaha Milik Kampung (BUMK) Berdikari di Desa Pedemun bukan sekadar persoalan personal antara dua warga Mantan direktur BUMK.
Polemik ini menelanjangi satu persoalan yang jauh lebih besar,atas lemahnya sistem pengawasan dan tanggung jawab aparat desa terhadap tata kelola keuangan publik.
Setelah bertahun-tahun memilih diam, Yusra Efendi, mantan Direktur BUMK Berdikari, akhirnya mengambil sikap tegas.
Ia meminta pertanggungjawaban moral kepada Ihwan dan Sukurdi, dengan menantang keduanya untuk menjalani sumpah pocong di hadapan seluruh masyarakat desa.
Namun, respons yang diterimanya justru sangat ironis,nomor ponselnya diblokir oleh Ihwan.
Tindakan memblokir kontak bukan hanya bentuk penghindaran, tetapi juga simbol bahwa sistem penyelesaian konflik di Desa Pedemun telah kehilangan legitimasi sosial.
Padahal, di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai adat dan kehormatan, keberanian Yusra menantang sumpah pocong seharusnya menjadi momentum refleksi dan klarifikasi, bukan ditanggapi dengan sikap defensif dan pembungkaman komunikasi.
Kasus ini memperkuat dugaan bahwa pengelolaan BUMK di Desa Pedemun tidak hanya minim akuntabilitas, tetapi juga rawan dimanipulasi oleh elit desa. masyarakat hingga kini tak pernah melihat audit terbuka, apalagi forum pertanggungjawaban secara berkala.
Keberadaan BUMK yang seharusnya menjadi motor ekonomi desa, justru menjadi sumber konflik dan fitnah karena ketidakjelasan aliran dan penggunaan dana.
Bahkan ketika terjadi peralihan kepemimpinan pada 2017, penyerahan dana sisa BUMK sebesar Rp118 juta yang disaksikan oleh pejabat desa kala itu, tidak pernah diikuti oleh proses dokumentasi resmi dari pemerintah desa yang menjadi pemegang otoritas tertinggi pengawasan. LPJ yang diserahkan pun seakan tenggelam dalam arsip yang tak pernah dibuka kembali.
Hal ini menunjukkan adanya kerapuhan sistemik yang memungkinkan konflik berkembang menjadi pencemaran nama baik, tanpa ada ruang yang memadai untuk menyelesaikannya secara objektif dan bermartabat.
Ironisnya, hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Reje Kampung atau perangkat desa terkait permintaan Yusra. Padahal, konflik seperti ini dapat berimplikasi langsung pada keharmonisan sosial dan kepercayaan publik terhadap pemerintah desa.
“Mereka diam, mereka membiarkan saya dibungkam oleh opini yang dibangun bertahun-tahun. Tapi hari ini saya berdiri, bukan untuk uang, tapi untuk nama baik saya dan kehormatan keluarga saya,dulu saya diam karena saya sakit dan mereka memanfaatkan posisi saya untuk secara trus menerus mendiskriminasi.
Mereka beralaskan tidak ada bukti sementara LPJ sudah saya serahkan kepada aparat desa saat itu,untuk itu saya meminta seluruh pihak yang terlibat untuk di Sumpah pocong di hadapan seluruh masyarakat desa pedemun.” ujar Yusra dengan nada penuh kekecewaan.
Situasi ini harus menjadi alarm keras bagi dinas terkait dan lembaga pengawas desa di Aceh Tengah.
Ketika warga desa harus meminta sumpah pocong sebagai satu-satunya jalan pembuktian kebenaran, maka sesungguhnya sistem birokrasi dan adat di desa itu sedang dalam keadaan darurat kepercayaan.
Kasus Desa Pedemun adalah gambaran kecil dari besarnya masalah kelembagaan desa di berbagai wilayah. Minimnya literasi keuangan, lemahnya pengawasan, dan diamnya aparat saat konflik pecah adalah kombinasi fatal yang bisa menggerogoti stabilitas sosial masyarakat desa.
Pemblokiran nomor warga oleh pihak yang dituding, tanpa adanya klarifikasi terbuka, mencerminkan sikap feodal dan antidemokrasi.
Pemerintah Kabupaten dan Inspektorat Daerah harus turun tangan ,bukan hanya untuk menyelesaikan kasus ini, tetapi untuk memastikan setiap desa di Aceh Tengah memiliki sistem transparansi yang berjalan, bukan hanya tertulis di atas kertas.(Tim)