A1news.co.id|Takengon – Ketika pemerintah mengumumkan rencana menjadikan 20.000 hektar hutan pinus di Aceh sebagai habitat konservasi gajah Sumatera, saya merasa perlu angkat suara.
Sebagai akademisi yang peduli terhadap ekosistem lokal dan konservasi satwa liar, saya menilai kebijakan ini tidak tepat secara ekologis dan berisiko merusak dua hal sekaligus, habitat gajah dan hutan pinus merkusii asli Aceh.
-Hutan Pinus : Monokultur yang Tidak Ramah Gajah
Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) adalah spesies yang membutuhkan hutan tropis dataran rendah, rawa, dan semak belukar sebagai habitat alami.
Hutan pinus, yang bersifat monokultur dan memiliki kanopi rapat, tidak menyediakan vegetasi bawah yang cukup untuk pakan gajah.
Menurut penelitian pemodelan habitat di Taman Nasional Way Kambas, dua parameter paling penting bagi kesesuaian habitat gajah adalah jarak dari sungai, Gajah memilih habitat yang berjarak kurang dari 1 km dari sungai, karena kebutuhan air harian dan vegetasi subur di sekitar aliran air.
Parameter ini memiliki bobot tertinggi dalam model kesesuaian habitat, yaitu 0,319.
-Jenis tutupan lahan : Gajah menyukai hutan tropis dengan kanopi terbuka, semak belukar, dan rawa dataran rendah yang menyediakan pakan alami. Parameter ini memiliki bobot 0,213.
Hutan pinus tidak memenuhi dua kriteria tersebut. Kanopinya terlalu rapat, lantai hutannya minim vegetasi bawah dan jaraknya dari sumber air sering kali jauh, ini menjelaskan mengapa gajah tidak menetap di hutan pinus secara alami.
– Kekurangan Pakan dan Risiko Konflik
Setiap gajah dewasa membutuhkan 150–200 kg biomassa per hari dan menjelajah hingga 20 km² untuk mencari makan.
Dalam hutan pinus, vegetasi bawah seperti rumput, semak, dan tanaman berkayu lunak sangat minim.
Hal ini berpotensi memicu gajah keluar dari kawasan dan berkonflik dengan manusia, seperti yang sering terjadi di Aceh Timur dan Aceh Tenggara.
Prof. Burhanuddin Masyud, pakar konservasi satwa liar dari IPB University, menegaskan bahwa “pelestarian tidak hanya soal angka populasi, tetapi juga penghormatan pada perilaku alami satwa.
” Gajah memiliki ikatan sosial dan pola migrasi yang kompleks, yang tidak bisa dipaksakan dalam lanskap yang tidak sesuai.
– Ancaman terhadap Hutan Pinus Merkusii Asli Aceh.
Hutan pinus merkusii di Aceh bukan sekadar tegakan pohon. Ia adalah bagian dari ekosistem pegunungan tropis yang memiliki nilai konservasi tinggi dan potensi ekonomi melalui produksi getah.
Mengubahnya menjadi habitat gajah berisiko mengganggu regenerasi alami menurunkan kualitas tanah akibat pergerakan gajah.
Menghilangkan karakter genetik lokal yang sedang diteliti untuk pengembangan varietas “Gayo 1”.
Menurut Anisa Hasanah, peneliti ekologi lanskap, “gajah berperan sebagai penyebar biji dan modifikator lanskap, tetapi hanya jika berada dalam habitat yang sesuai.”
Memaksakan mereka ke dalam hutan pinus justru menghambat fungsi ekologis tersebut.
– Alternatif yang lebih bijak, jika pemerintah benar-benar ingin melindungi gajah, maka pendekatan yang lebih tepat adalah restorasi koridor gajah alami di dataran rendah dan hutan campuran agroforestri ramah gajah di wilayah penyangga.
Pemetaan habitat prioritas berbasis data satwa dan vegetasi, pelibatan masyarakat lokal dan pakar ekologi dalam perencanaan konservasi.
– Penutup.
Jangan jadikan Gajah tamu di rumah yang salah.
Konservasi bukan sekadar proyek simbolik. Ia harus berbasis ilmu pengetahuan, keadilan ekologis, dan keberpihakan pada ekosistem lokal.
Gajah Sumatera adalah warisan hidup yang tak ternilai, dan hutan pinus merkusii adalah lanskap yang harus dijaga.
Menyatukan keduanya tanpa dasar ilmiah adalah bentuk kekeliruan yang bisa berujung pada kerugian ekologis jangka panjang.
Hutan pinus bukan rumah gajah. Mari kita jaga keduanya dengan cara yang benar dengan cinta, ilmu, dan keberanian untuk berkata: “Tidak semua yang terlihat hijau adalah habitat.”
Penulis: Dr. Budiyono, S.Hut. M.Si, Dosen Universitas Gajah Putih Takengon