A1news.co.id|Aceh Singkil – Sebuah kapal asal Tapanuli Tengah, KM Bintang Jaya, menjadi sorotan tajam setelah tertangkap tangan menggunakan alat tangkap terlarang jenis pukat harimau di perairan Aceh Singkil.
Penangkapan ini memicu gelombang reaksi dari legislatif daerah, komunitas nelayan, hingga aktivis lingkungan.
Di balik operasi penegakan hukum ini, tersimpan potret kerusakan laut yang selama ini ditanggung nelayan kecil tanpa banyak suara. (15/10)
Dalam operasi yang digelar oleh Satpol Airud Polres Aceh Singkil beberapa hari lalu, aparat berhasil mengamankan kapal KM Bintang Jaya berikut 12 awak kapal.
Mereka diduga kuat melakukan praktik illegal fishing menggunakan pukat trawl, alat tangkap yang telah dilarang karena merusak ekosistem laut.
Sejumlah barang bukti berupa katrol baja, tali sling, papan pemberat, dan mesin penarik jaring ikut diamankan.
Proses penyidikan kini sedang berlangsung,
Ketua Komisi II DPRK Aceh Singkil, Juliadi Bancin, turun langsung ke lokasi penahanan kapal di kawasan Anak Laut, Singkil.
Ia menyatakan kekhawatirannya terhadap dampak pukat harimau terhadap biota laut.
“Jaring mereka hanya satu inci. Ikan kecil, bahkan ikan badar, ikut habis tersapu. Ini bukan hanya pelanggaran hukum, tapi perampokan sumber daya laut yang jadi tumpuan hidup masyarakat kami,” ujarnya.
Menurut pantauan DPRK dan nelayan lokal, kehadiran kapal pukat harimau telah menyebabkan penurunan tajam hasil tangkapan nelayan tradisional, bahkan memicu kerusakan jaring mereka yang kerap terseret kapal-kapal besar.
Panglima Laut Gosong Telaga, Maswardin , menyuarakan kekecewaan nelayan. Ia menyatakan, sejak kapal pukat harimau beroperasi, semakin banyak nelayan kecil yang enggan melaut karena hasil yang tak sebanding dengan biaya operasional.
“Kami berterima kasih kepada aparat. Tapi kapal ini jangan dilepas. Sita untuk negara. Kasihan nelayan kecil yang sudah susah,” katanya.
Maswardin juga menuntut agar pemerintah memperketat patroli laut dan meningkatkan keterlibatan komunitas pesisir dalam pengawasan.
Dukungan terhadap tindakan hukum datang dari kalangan mahasiswa. Surya Fadli, Ketua LMND Eksekutif Aceh Singkil, menyatakan siap menggelar diskusi publik dan aksi damai untuk menekan pemerintah agar serius menangani isu illegal fishing.
“Penegakan hukum harus terbuka. Laut adalah ruang hidup rakyat. Pemerintah harus hadir melindunginya,” tegas Surya.
LMND juga menyoroti lemahnya pengawasan laut dan meminta agar masyarakat pesisir dilibatkan secara aktif dalam sistem pelaporan pelanggaran.
Meski kapal telah diamankan, sejumlah pihak menduga adanya jaringan pemodal besar yang mengoperasikan kapal-kapal trawl ke wilayah tangkapan tradisional.
Beberapa nelayan bahkan mengaku sering melihat kapal serupa beroperasi malam hari tanpa lampu navigasi.
“Kadang mereka datang dari arah barat laut, masuk diam-diam malam hari, dan pergi sebelum pagi,” ungkap seorang nelayan yang enggan disebut namanya.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: siapa yang berada di belakang kapal-kapal ini? Apakah ada keterlibatan bandar, atau pembiaran sistematis terhadap praktik yang merusak ini.
Publik kini menanti langkah tegas dari aparat penegak hukum. Desakan DPRK dan masyarakat agar proses hukum dilakukan secara terbuka dan tanpa kompromi menjadi sorotan utama.
Banyak pihak juga mendorong agar alat dan kapal yang digunakan dalam illegal fishing disita permanen, bukan sekadar dikenai denda ringan.
“Kalau laut ini aman, kami bisa hidup. Tapi kalau yang besar-besar terus merampas, kami hanya jadi penonton di laut sendiri,” ujar Maswardin menutup.
Kasus KM Bintang Jaya menjadi momentum penting bagi Aceh Singkil dalam menegakkan kedaulatan atas lautnya.
Lebih dari sekadar penangkapan, ini adalah ujian keseriusan negara dalam melindungi ruang hidup rakyat kecil dari kepentingan bisnis yang rakus dan tak beretika. (TIM)