A1news.co.id|Takengon – Asraf Presiden Mahasiswa Universitas Gajah Putih (UGP), merasa terpanggil secara moral dan intelektual untuk angkat bicara.
Hati nurani saya terusik oleh laporan dan keluhan yang sampai ke telinga saya mengenai carut-marutnya proses tes uji mampu baca Al-Qur’an untuk calon Reje di Kecamatan Kebayakan.
Ini bukan sekadar masalah administrasi. Ini adalah tentang marwah dan kehormatan proses pemilihan pemimpin di tanah Gayo yang kita cintai ini.
Tes mengaji, yang seharusnya menjadi filter suci untuk melahirkan pemimpin yang tidak hanya cakap secara manajerial tapi juga dekat dengan kitab sucinya, kini terindikasi kuat telah dicemari oleh kepentingan sesaat.
Saya mendengar langsung bisik-bisik kekecewaan dari mereka yang merasa dizalimi. Saya merasakan ketidakadilan ketika sebuah proses sakral dipermainkan oleh oknum yang seharusnya menjadi penjaga moral.
Netralitas bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan mutlak bagi penyelenggara. Ketika netralitas itu hilang, maka hilang pula kepercayaan rakyat.
Dengan ini, saya secara pribadi dan dalam kapasitas saya sebagai representasi suara kritis mahasiswa, menyatakan sikap:
1. Kepala KUA Kebayakan Telah Gagal Menjaga Amanah, dugaan keberpihakan dan standar ganda dalam penilaian tes mengaji adalah pengkhianatan terhadap sumpah jabatannya dan terhadap kepercayaan masyarakat. Sosok seperti ini tidak layak menempati posisi terhormat tersebut.
2. Kepala Kantor Kemenag Aceh Tengah Harus Bertindak Cepat. Jangan biarkan masalah ini menjadi api dalam sekam yang akan merusak tatanan demokrasi di tingkat kampung.
Saya menuntut Kepala Kemenag Aceh Tengah untuk segera menonaktifkan dan memeriksa Kepala KUA Kebayakan. Jika terbukti benar, copot jabatannya tanpa kompromi!
3. Kembalikan Kehormatan Seleksi Reje.
Proses seleksi pemimpin kampung harus bersih, transparan, dan adil. Jangan sampai tes kemampuan membaca Al-Qur’an hanya menjadi formalitas atau, lebih buruk lagi, menjadi alat untuk menjegal calon tertentu dan meloloskan calon lainnya. Ini penghinaan terhadap nilai-nilai agama dan budaya kita.
Saya tidak sedang membawa bendera organisasi manapun saat ini. Saya berbicara sebagai Asraf, seorang anak Gayo yang gelisah melihat kampung halamannya dinodai oleh praktik-praktik yang tidak terpuji. Suara saya adalah suara kegelisahan publik yang mungkin tak terdengar.
Tindakan tegas dari Kemenag Aceh Tengah adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kepercayaan publik dan memastikan bahwa pemimpin yang lahir di Kebayakan adalah benar-benar pilihan rakyat yang memenuhi syarat, bukan hasil rekayasa.
Saya akan terus mengawal masalah ini. Diam bukanlah pilihan ketika keadilan diinjak-injak.(WD)