A1news.co.id|Banda Aceh – Organisasi HPP-SHaF (Himpunan Pelajar Perantau Syekh Hamzah Al-Fansyuri), yang berpusat di Banda Aceh dan menaungi mahasiswa/i asal Kota Subulussalam, tengah menghadapi konflik internal yang memanas.
Dua kubu mengklaim telah melaksanakan Musyawarah Besar (MUBES) dan masing-masing menunjuk ketua umum versi mereka sendiri.
Kubu pertama dipimpin oleh Ramadan Kombih dan mendapat dukungan eksplisit dari tiga kecamatan: Sultan Daulat, Penanggalan, dan Longkib.
Sementara kubu kedua dipimpin oleh Khairul Ahwar dengan dukungan dari Kecamatan Rundeng.
Adapun Kecamatan Simpang Kiri memilih untuk bersikap netral dari total lima kecamatan di Kota Subulussalam.
Konflik ini telah sampai ke meja Pemerintah Kota Subulussalam. Namun, alih-alih mengambil sikap netral sebagai fasilitator penyelesaian, sejumlah mahasiswa/i menilai Walikota Subulussalam justru terkesan berpihak kepada salah satu kubu.
Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa Walikota turut cawe-cawe dalam dinamika internal organisasi mahasiswa, terutama karena ada dugaan keberpihakan terhadap kubu yang dinilai cacat secara administratif.
Mayoritas mahasiswa/i HPP-SHaF yang berdomisili di Banda Aceh menyayangkan sikap tersebut dan mendesak agar Pemerintah Kota Subulussalam mengambil langkah netral dengan memfasilitasi Musyawarah Besar ulang yang resmi dan terbuka di Banda Aceh.
Mereka juga menyoroti bahwa banyak mahasiswa/i tidak mendapat informasi atau bahkan tidak dilibatkan dalam dua MUBES sebelumnya, sehingga keabsahan proses patut dipertanyakan.
Mahasiswa/i mendesak agar panitia pelaksana MUBES selanjutnya bersikap netral, transparan, dan tidak melibatkan individu yang sudah tidak aktif di dunia kampus.
Hal ini penting untuk menjaga semangat regenerasi, objektivitas, dan keberlanjutan organisasi.
Di tengah harapan untuk penyelesaian yang adil, mahasiswa Subulussalam yang berkuliah di Banda Aceh juga mengingatkan Walikota Subulussalam agar tidak ikut cawe-cawe atau memihak dalam urusan organisasi mahasiswa yang seharusnya bersifat otonom.(RD)