A1news.co.id|Takengon – Koordinator Forum Mahasiswa Aceh Perantauan, Agus Muliara, melayangkan peringatan keras kepada Forum Kepala Desa Kabupaten Aceh Tengah terkait dugaan penyimpangan dalam praktik pengadaan buku laporan Dana Desa.
Program pengadaan yang disebut-sebut mengalokasikan anggaran hingga 6 juta per Desa ini dinilai sarat kejanggalan dan berpotensi menjadi celah penyalahgunaan keuangan negara.
Agus menyebut, dari informasi awal yang dihimpun, terdapat indikasi bahwa pengadaan buku laporan Dana Desa dilakukan secara massif dan terkoordinasi tanpa dasar urgensi yang memadai.
“Kegiatan ini terlihat lebih sebagai formalitas penghabisan anggaran ketimbang upaya mendorong transparansi atau efisiensi tata kelola Dana Desa,” ujarnya.
Sebagai putra daerah yang konsisten mengawal isu tata kelola pemerintahan di Aceh Tengah, Agus menyatakan keprihatinan atas praktik yang terkesan dipaksakan dan tidak mengedepankan asas efisiensi, partisipatif, serta akuntabilitas publik.
Ia menekankan bahwa Dana Desa adalah instrumen penting pembangunan masyarakat, bukan ajang mencari keuntungan dari celah administrasi.
Lebih lanjut, Agus menyampaikan bahwa dirinya tengah menelusuri dugaan adanya pengaturan dari pihak tertentu dalam proses ini, termasuk kemungkinan pembagian persentase tertentu dari nilai pengadaan kepada oknum yang berkepentingan.
“Informasi yang kami dapat menyebutkan bahwa terdapat skema pembagian sebesar 10% kepada salah satu pengurus forum kepala desa. Jika benar, ini merupakan preseden buruk yang harus segera diklarifikasi secara terbuka,” tegasnya.
Agus juga mengingatkan bahwa berdasarkan Permendesa PDTT Nomor 7 Tahun 2021 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa, tidak ada ketentuan eksplisit mengenai pengadaan buku laporan dalam skala dan nilai seperti yang terjadi di Aceh Tengah.
Menurutnya, kegiatan seperti ini rentan menabrak prinsip efisiensi, kebutuhan riil masyarakat desa, serta semangat penguatan kapasitas desa yang seharusnya menjadi fokus utama Dana Desa.
Terkait dengan aspek hukum, Agus mengingatkan bahwa setiap penggunaan Dana Desa harus tunduk pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan hukum.
Bila terbukti terjadi pengadaan fiktif, mark-up anggaran, atau pengadaan barang/jasa yang tidak sesuai prosedur, maka pelakunya dapat dijerat dengan ketentuan dalam:
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 3 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara, diancam pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
UU Desa Nomor 6 Tahun 2014, yang pada Pasal 72 dan 73 menegaskan bahwa Dana Desa wajib dikelola secara transparan, akuntabel, partisipatif, dan dilakukan dengan tertib serta disiplin anggaran.
Pelanggaran terhadap prinsip ini dapat berujung pada sanksi administratif berat dan pidana keuangan negara.
“Transparansi bukan diukur dari tebal-tipisnya laporan atau mahalnya buku cetak, tetapi dari partisipasi warga dan keterbukaan informasi publik.
Jika kegiatan seperti ini terus dipelihara, maka kita sedang membiarkan lahirnya kultur pembenaran atas pemborosan anggaran,” tambahnya.
Agus menyerukan agar seluruh kepala desa di Aceh Tengah tidak serta-merta mengikuti program yang tidak berpijak pada kebutuhan faktual di desa masing-masing.
Ia juga mendesak agar Inspektorat Kabupaten, Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP), dan Aparat Penegak Hukum (APH) segera melakukan evaluasi dan pendalaman terhadap kegiatan ini secara menyeluruh.
“Jangan sampai karena kelalaian atau pembiaran, kepercayaan publik terhadap kepala desa dan tata kelola Dana Desa runtuh. Dana Desa bukan milik pejabat atau forum tertentu itu milik rakyat, dan hukum harus hadir jika ada indikasi pelanggaran,” tutup Agus.(WD)