A1news.co.id|Banda Aceh – Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negeri AR-RANIRY kembali menegaskan komitmennya dalam membangun kesadaran historis, budaya, dan hukum melalui penyelenggaraan Kuliah Umum bertajuk “Keistimewaan Lembaga Wali Nanggroe dalam Perspektif Hukum, Adat, dan Keacehan”.
Kegiatan ini berlangsung di Aula Lembaga Wali Naggroe dan dihadiri oleh mahasiswa, dosen, serta tamu undangan dari berbagai elemen akademik.
Kuliah umum ini tidak hanya menjadi ajang transfer ilmu, tetapi juga ruang dialog lintas generasi untuk memperkuat pemahaman mengenai kekhususan Aceh sebagai daerah istimewa di Indonesia.
Menariknya, kegiatan ini sepenuhnya digagas dan dilaksanakan oleh mahasiswa aktif Fakultas Syariah dan Hukum, Imam Ziyadi Liswan, S.H yang bertindak sebagai ketua panitia pelaksana.
Dalam sambutannya, Imam menyampaikan bahwa semangat pelaksanaan kuliah umum ini berangkat dari kesadaran mahasiswa terhadap pentingnya pelestarian nilai-nilai lokal, terutama di tengah arus globalisasi dan tantangan modernitas yang terus bergerak cepat.
“Sebagai generasi muda Aceh, kami merasa memiliki tanggung jawab moral dan intelektual untuk terus menggali, mengkaji, dan menghidupkan kembali nilai-nilai khas Aceh.
Lembaga Wali Nanggroe bukan sekadar warisan budaya, tetapi simbol pemersatu yang menyimpan filosofi mendalam tentang jati diri orang Aceh,” ujar Imam.
Acara ini menghadirkan dua narasumber utama yang memiliki latar belakang keilmuan dan kepedulian kuat terhadap Aceh. Pembicara pertama, Dr. Badri Hasan, S.H., M.H., adalah akademisi dan praktisi hukum tata negara yang telah lama menaruh perhatian terhadap otonomi daerah, kekhususan Aceh, dan implementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Dalam paparannya, beliau menjelaskan bahwa kehadiran Lembaga Wali Nanggroe merupakan salah satu manifestasi konkret dari butir-butir penting dalam MoU Helsinki, yang menjadi landasan perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia pasca-konflik berkepanjangan.
“Wali Nanggroe memiliki legitimasi sejarah, hukum, dan sosial yang sangat kuat. Ia bukan hanya simbol, melainkan institusi budaya-politik yang mengakar dalam tatanan masyarakat Aceh sejak masa kesultanan.
Dalam konteks kekinian, lembaga ini memiliki peran strategis dalam menjaga identitas, memperkuat nilai adat, serta menjadi penghubung antara rakyat dan pemerintah,” terang Dr. Badri.
Ia juga menambahkan bahwa agar fungsi Lembaga Wali Nanggroe berjalan optimal, perlu adanya dukungan politik yang sehat, regulasi yang memadai, serta partisipasi aktif masyarakat sipil dan akademisi dalam mengawal kiprah lembaga ini ke depan.
Pembicara kedua, Dr. Zainal Abidin, S.H., M,Si., M.H, yang dikenal sebagai Ahli Hukum Lembaga wali Naggroe Aceh mengulas dari sudut pandang sejarah dan adat Aceh, menjelaskan bagaimana konsep Wali Nanggroe telah hadir jauh sebelum terbentuknya negara Indonesia.
Lembaga ini, menurutnya, memiliki legitimasi adat yang kuat dan berperan sebagai pemersatu dalam keragaman suku, wilayah, dan kepentingan di Aceh.
Ia juga menyinggung pentingnya regenerasi dan edukasi kepada generasi muda agar nilai-nilai kearifan lokal ini tidak tergerus oleh globalisasi yang mengikis identitas budaya.
Wali Nanggroe adalah simbol integritas, kehormatan, dan kebijaksanaan. Ia tidak bermain dalam wilayah politik kekuasaan, melainkan berdiri sebagai penjaga marwah bangsa Aceh,” tegasnya.
Menurutnya, Lembaga Wali Nanggroe harus diberdayakan secara struktural dan fungsional agar mampu menjadi pilar utama dalam pendidikan karakter keacehan bagi generasi muda, termasuk mahasiswa.
Antusiasme peserta begitu tinggi dalam mengikuti sesi tanya jawab. Sejumlah mahasiswa menyampaikan pandangan kritis mereka, mulai dari bagaimana posisi Wali Nanggroe dalam sistem pemerintahan daerah, sampai bagaimana peran mahasiswa dalam mengawal keistimewaan Aceh agar tidak hanya menjadi slogan politik.
Diskusi berjalan interaktif, penuh semangat, dan memperlihatkan tingginya kesadaran intelektual mahasiswa terhadap isu lokal yang berdampak nasional.
PJ Ketua HMI Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum, Abdul Malek Maulana, dalam sambutannya memberikan apresiasi besar terhadap pelaksanaan kegiatan ini.
Ia menyatakan bahwa kuliah umum seperti ini sangat penting sebagai bagian dari pembelajaran kontekstual bagi mahasiswa, terutama dalam mengintegrasikan antara teori hukum, realitas sosial, dan akar budaya lokal.
“Saya sangat bangga kepada saudara Imam Ziyadi dan seluruh panitia. Inisiatif ini menunjukkan bahwa mahasiswa FSH bukan hanya mampu menyerap ilmu, tetapi juga mampu menciptakan ruang-ruang diskursus yang substansial.
Ini adalah bagian dari jihad intelektual yang sesungguhnya,” ujarnya disambut tepuk tangan hadirin.
Kegiatan ini ditutup dengan foto bersama. Di akhir acara, Imam Ziyadi selaku ketua panitia menegaskan harapannya bahwa kuliah umum ini bukan hanya menjadi seremonial belaka.
Tetapi dapat menjadi awal dari gerakan intelektual mahasiswa untuk lebih serius mendalami nilai-nilai keacehan dan memperjuangkannya melalui pendekatan akademik.
“Kami ingin menunjukkan bahwa generasi muda Aceh siap menjadi pelanjut estafet perjuangan melalui jalan ilmu pengetahuan, diskusi kritis, dan gerakan kultural yang berkelanjutan,” tutup Imam dengan penuh semangat.(RD)