A1news.co.id.co.id|Aceh Utara – Sebuah video viral yang diduga berisi narasi hoax atau kebohongan telah menggemparkan Gampong Parang Sikureueng Kecamatan Matangkuli, Kabupaten Aceh Utara
Setelah dilakukan penelusuran oleh awak media, terungkap bahwa pengunggah video tersebut di platform TikTok dan Facebook ternyata adalah salah satu penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Video berdurasi 19 detik itu sempat viral di media sosial, namun setelah ditelusuri lebih lanjut, narasi yang ditulis oleh pengunggah, ZA, diduga tidak benar.
Saat dikonfirmasi oleh awak media, ZA tidak dapat memberikan jawaban yang jelas mengenai item-item apa saja yang diduga dikorupsi.
Jawaban ZA terkesan tidak masuk akal dan tidak dapat menjelaskan secara rinci. Ia hanya menjawab, “Kami tunggu rapat,” dan mengakui bahwa dirinya adalah salah satu penerima BLT di Gampong.
“Kami masyarakat biasa menunggu kapan ada rapat pertanggungjawaban tahun 2024 dan 2025,” ucap ZA pada 23 Agustus 2025.
Saat ditanya lebih lanjut apakah benar dirinya merupakan penerima BLT di Gampong, ZA membenarkannya.
Namun, ketika wartawan menanyakan tentang narasi yang ditulis dalam video tersebut mengenai korupsi senilai 680 juta, serta item-item apa saja yang tidak terealisasi atau diduga dikorupsi oleh Geuchik, ZA tidak memberikan jawaban.
Pesan yang dikirimkan wartawan hanya dibaca (centang biru) hingga berita ini ditayangkan.
Tuha Peuet, perangkat desa, dan beberapa warga yang diwawancarai oleh awak media menyatakan bahwa pertanggungjawaban anggaran tahun 2024 telah selesai dilakukan.
Di tengah gemerlapnya era digital, terselip masalah yang menggerogoti fondasi masyarakat, terutama di wilayah Gampong.
Masalah itu adalah hoax, informasi sesat yang merajalela tanpa kendali, menjerumuskan masyarakat dalam kebingungan dan ketakutan.
Ironisnya, masyarakat di Gampong yang sering digambarkan sebagai komunitas tradisional dengan nilai-nilai kekeluargaan yang erat, kini menjadi sasaran empuk para penyebar hoax.
Keterbatasan mereka dalam mengakses informasi yang valid dan literasi digital yang rendah menjadikan mereka rentan terhadap berita bohong.
Hoax menyebar dengan cepat melalui jaringan media sosial di desa, seperti grup WhatsApp, TikTok, dan Facebook.
Tanpa filter dan verifikasi yang memadai, informasi yang beredar di sana bagaikan pisau bermata dua: dapat membawa manfaat, namun tak jarang pula berujung pada perpecahan dan keresahan.
Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab atas situasi ini? Pemerintah, dengan segala keterbatasannya, tidak dapat diandalkan sepenuhnya untuk menangkal informasi hoax.
Perlu ada upaya kolektif dari berbagai pihak, mulai dari akademisi, aktivis, hingga masyarakat Gampong itu sendiri.(Rz)