A1news.co.id|Aceh Singkil- Dugaan penggunaan ijazah palsu atau “aspal” kembali mencuat di wilayah Aceh Singkil. Praktik yang dinilai merugikan keuangan negara ini dinilai seolah-olah tak tersentuh oleh hukum, meski telah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat.
Ketua LSM Suara Putra Aceh, Anton Tinendung, membeberkan temuan penggunaan ijazah palsu di salah satu Sekolah Dasar di Desa Kuta Simboling, Kecamatan Singkil.
Anton menuntut agar Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) segera memanggil dan memproses oknum terduga yang hingga kini masih menikmati gaji dari negara tanpa kejelasan keabsahan ijazahnya.
Tidak hanya satu orang, temuan lapangan menunjukkan lebih dari satu individu yang diduga menggunakan ijazah palsu untuk lolos seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahun 2022.
Salah satu saksi mata bahkan mengungkapkan bahwa proses memperoleh ijazah palsu itu dilakukan untuk membayar biaya ijazah strata 1 (S1) sebesar Rp13,5 juta.
Modusnya, ijazah palsu diperoleh dari penyedia dokumen ilegal yang diduga beroperasi di wilayah Kecamatan Singkil. Biaya yang dikenakan bervariasi: Rp16 juta untuk jenjang SLTA dan Rp13,5 juta untuk alih jenjang dari D2 ke S1.
Kampus Tertentu Jadi Sumber Dugaan
Investigasi lebih lanjut menunjukkan bahwa sebagian besar ijazah yang digunakan berasal dari satu perguruan tinggi swasta di Sumatra Utara yang telah ditutup, yaitu Universitas Pelita Bangsa (UPB).
Kampus ini sebelumnya telah dicabut izin operasionalnya oleh Kemenristekdikti karena tidak memenuhi standar akademik dan tersandung sejumlah kasus hukum, termasuk dugaan pemalsuan ijazah.
Universitas Pelita Bangsa (UPB) Sumatera Utara pernah mengalami beberapa masalah hukum dan akademik. Berikut beberapa informasi:
Status Akademik
1. 2019: UPB dicabut izin operasionalnya oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) karena tidak memenuhi standar akademik.
2. 2020: UPB tidak terdaftar dalam Daftar Perguruan Tinggi yang Telah Dicabut Izin Operasionalnya oleh Kemenristekdikti.
Masalah Hukum
1. 2018: Rektor UPB ditangkap karena dugaan korupsi dan pemalsuan ijazah.
2. 2020: UPB dilaporkan ke Polisi karena dugaan penjualan ijazah palsu.
Sanksi
1. Pemblokiran situs web resmi UPB.
2. Pencabutan izin operasional.
3. Penghentian proses akademik.
Sumber
1. Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI.
2. Badan Kepegawaian Negara (BKN).
3. Polisi Republik Indonesia.
4. Media online seperti Kompas, Detik, dan CNN Indonesia.
Untuk memastikan keaslian ijazah dan status akademik UPB, hubungi:
1. Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI.
2. Badan Kepegawaian Negara (BKN).
3. Polisi Republik Indonesia.
Kasus Serupa di Aceh Timur
Kasus ijazah palsu juga terjadi di Aceh Timur.
Sejumlah mahasiswa dari Aceh Timur yang tengah menempuh pendidikan di beberapa perguruan tinggi meminta Polda Aceh menyelidiki penggunaan ijazah palsu oleh salah satu anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Timur.
Mereka menemukan ketidaksesuaian data antara ijazah yang dimiliki oknum tersebut dengan data dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti).
“Banyak kejanggalan yang kami temukan, dan kami yakin dugaan ijazah itu palsu,” ujar Rahmat, salah satu mahasiswa.
Ketua LSM Kana, Muzakir, yang mengawal isu ini turut menegaskan bahwa pernyataan mereka adalah bentuk dugaan yang harus diusut lebih lanjut oleh penegak hukum.
Ia menekankan agar tidak ada upaya pembalikan fakta atau intimidasi terhadap pelapor.
Tuntutan Masyarakat: Tindak Tegas Oknum Pelaku
Masyarakat Aceh Singkil dan Aceh Timur mendesak penegak hukum, khususnya Polda Aceh, BKPSDM, dan instansi pendidikan tinggi untuk menyelidiki tuntas kasus ini.
Mereka juga meminta agar ijazah-ijazah yang digunakan ASN dan PPPK diverifikasi ulang melalui Kopertis Wilayah I Medan dan PD Dikti untuk mencegah pembiaran yang berpotensi mencoreng dunia pendidikan.
Pemeriksaan data LLDIKTI, meskipun penting, dinilai belum cukup karena ada kemungkinan keterlibatan oknum internal dalam memanipulasi data akademik.
Dengan makin kuatnya bukti dan desakan publik, masyarakat berharap agar pemerintah daerah dan aparat penegak hukum tidak lagi menutup mata atas maraknya kasus ini.
Langkah konkret dan transparan dibutuhkan agar kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara dan sistem pendidikan tidak terus terkikis. (TIM)