A1news.co.id|Takengon – Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) semestinya menjadi ajang demokrasi yang jujur, adil, dan terbuka bagi seluruh masyarakat desa.
Namun di beberapa tempat, nilai-nilai demokrasi ini mulai tercoreng oleh sikap aparatur desa dan panitia Pilkades yang tidak netral.
Sebagai pelaksana pemerintahan di tingkat desa, aparatur memiliki peran penting untuk memastikan Pilkades berjalan sesuai aturan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Ada aparatur yang secara terang-terangan menunjukkan dukungan kepada calon tertentu, bahkan memanfaatkan jabatan untuk mempengaruhi masyarakat.
Lebih parah lagi, panitia Pilkades yang seharusnya menjadi wasit justru ikut bermain di lapangan.
Ketika penyelenggara dan aparatur berpihak, kepercayaan publik hancur. Pilkades bukan lagi tentang pilihan rakyat, tetapi tentang siapa yang memiliki kekuasaan lebih besar.
Dampaknya, masyarakat menjadi terbelah, muncul kecurigaan antar warga, dan suasana desa menjadi tidak kondusif.
Padahal, aturan sudah jelas. Aparatur desa dan panitia Pilkades wajib menjaga netralitas. Mereka tidak boleh terlibat dalam politik praktis, apalagi memihak salah satu calon. Tugas mereka hanya satu: memastikan proses berjalan jujur dan transparan.
Ketidaknetralan bukan hanya melanggar etika, tetapi juga mencederai demokrasi. Kepala desa yang lahir dari proses tidak bersih akan sulit diterima dan tidak akan membawa kemajuan.
Karena itu, pengawasan masyarakat dan lembaga berwenang perlu diperkuat agar setiap tahapan Pilkades berjalan sesuai prinsip demokrasi.
Netralitas adalah harga mati bagi aparatur dan panitia Pilkades. Jika mereka tidak mampu menjaga integritas, maka yang hancur bukan hanya proses demokrasi, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa itu sendiri.(WD)






















