A1news.co.id|Banda Aceh – Secara legal formal, definisi Tersangka diterangkan dalam Pasal 1 Angka 14 KUHAP yang menyatakan bahwa Tersangka merupakan seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 14 KUHAP tersebut seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka apabila terdapat minimal 2 (dua) bukti permulaan sebagaimana di atur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Mengenai berapa lama seseorang dapat menjadi tersangka, hal ini bergantung dari berapa lama proses penyidikan tersebut. Karena selama proses penyidikan tersebut berlangsung, orang tersebut masih berstatus sebagai tersangka.
Lantas kapan status tersangka seseorang yang diduga melakukan tindak pidana berakhir ?. Merujuk pada ketentuan Pasal 109 KUHAP diterangkan bahwa seseorang tidak lagi menyandang status tersangka jika terhadap perkaranya dilakukan penghentian penyidikan.
Apabila penyidikan telah selesai dan berkas perkara tersebut telah disidangkan di Pengadilan, maka status tersangka tersebut berubah menjadi terdakwa.
Pasal 1 Angka 15 KUHAP menerangkan bahwa terdakwa merupakan tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang Pengadilan.
Namun saat ini, berdasarkan pengalaman praktik penulis, sangat banyak ditemukan seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, namun perkaranya tak kunjung rampung pada proses penyidikan hingga berlarut-larut.
Terhadap kondisi tersebut seseorang dapat saja berstatus tersangka seumur hidup, apabila perkaranya tak kunjung rampung pada proses penyidikan.
Tidak adanya batasan waktu penetapan status tersangka bagi seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, bisa dijadikan alat sandera oleh Negara atau Aparat Penegak Hukum yang memiliki otoritas dan kepentingan, tentunya kondisi tersebut bertentangan secara konstitusional.
Saat ini KUHAP tak memberikan batas waktu yang tegas berapa lama seseorang berstatus sebagai tersangka, bahkan meski proses kasusnya belum adanya kejelasan.
Pasal 50 KUHAP hanya menggunakan frasa “segera” yang dapat diterjemahkan relatif oleh penyidik dan penuntut.
Status tersangka yang disematkan kepada seseorang, secara sosial memberikan dampak yang signifikan, seperti halnya sanksi sosial dan labelling, meskipun perbuatan yang dituduhkan kepadanya belum terbukti.
Kondisi tersebut secara tidak langsung berdampak terhadap kondisi psikis seseorang yang menyandang status tersangka.
Padahal secara legal formal salah satu keadilan bagi tersangka adalah proses hukum yang cepat sehingga dapat diputuskan dalam pengadilan, apakah sesuatu yang disangkakan kepadanya benar atau tidak.
Berdasarkan uraian tersebut penulis merekomendasikan kepada Komisi III DPR-RI untuk mengakomodir batasan waktu status tersangka pada proses penyidikan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dengan adanya batasan waktu tersebut setidaknya memberikan keadilan terhadap tersangka yang perkaranya tak kunjung di proses, dan disisi lain juga dapat meningkatkan profesionalisme lembaga sistem peradilan pidana di Indonesia.
Dengan adanya ketentuan batasan waktu status tersangka tersebut maka terhadap perkara yang tak kunjung diproses pada tingkat penyidikan sebagaimana waktu yang telah ditentukan maka akan gugur status tersangkanya, tanpa harus melalui proses pra-peradilan seperti saat ini.
Hal tersebut disarankan karena berdasarkan amatan penulis, seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka, merupakan orang yang telah dirampas kemerdekaannya secara tidak langsung, kondisi tersebut mengakibatkan dirinya terbatas untuk melakukan aktifitas dan mencari nafkah.
Dengan kondisi tersebut seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka tentunya tidak memiliki kemapuan secara finansial untuk melakukan upaya hukum pra-peradilan.
Kondisi tersebutlah yang harus dipertimbangkan Negara, melalui Komisi III DPR-RI agar melakukan penambahan materi Rancangan KUHAP terkait batasan waktu status tersangka pada proses penyidikan.(RD)