A1news.co.id|Takengon- Sorotan terhadap putusan ringan terhadap terdakwa kasus narkoba, Fernando Safa anak dari anggota DPR Aceh, Salwani terus bergulir.
Kali ini, Ketua Gerakan Anti Narkoba Nasional (GANN) Aceh Tengah, Yusra Efendi, menyebut vonis delapan bulan penjara terhadap Fernando sebagai putusan yang tidak rasional dan berpotensi melanggar prinsip keadilan hukum.
Menurut Yusra, berdasarkan barang bukti sabu seberat 1,1 gram yang ditemukan, posisi hukum Fernando sudah bisa dikategorikan lebih dari sekadar pengguna, bahkan masuk dalam ranah pengedar atau bandar kecil sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, khususnya Pasal 114 ayat (1) dan Pasal 112 ayat (2).
“Dengan jumlah barang bukti di atas satu gram dan adanya pembagian paket sabu, itu sudah masuk unsur peredaran. Seharusnya jaksa menjeratnya dengan pasal bandar, bukan sekadar pengguna,” tegas Yusra kepada , Kamis (23/10/2025).
Yusra menilai, jika dibandingkan dengan terdakwa lain seperti Ansardi seorang tukang pangkas yang hanya memiliki 0,3 gram sabu namun divonis dua tahun penjara, maka putusan terhadap Fernando jelas menunjukkan ketimpangan hukum yang serius.
“Ini bentuk ketidakadilan yang nyata,jangan mentang mentang anak pejabat di berikan hukuman yang ringan Kalau hal ini terjadi kepada masyarakat kecil pasti ditindak tegas,hukum sudah seharusnya menjadi panglima tidak tumpul ke atas dan hanya tajam ke bawah, hukum kita sudah kehilangan arah,” tambahnya.
Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, seseorang yang kedapatan memiliki atau menguasai narkotika jenis sabu lebih dari 1 gram dan terbukti membagi ke dalam beberapa paket, dapat dijerat dengan:
• Pasal 114 ayat (1): “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana penjara seumur hidup atau paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun.”
• Pasal 112 ayat (2): “Jika jumlahnya melebihi 1 gram, pelaku dapat diancam pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun.”
• Pasal 132 ayat (1) juga menegaskan ancaman bagi setiap orang yang bersekongkol atau berusaha melakukan tindak pidana narkotika.
Dengan dasar tersebut, Yusra menilai bahwa vonis delapan bulan penjara terhadap Fernando tidak sejalan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
“Vonis itu sangat ringan dan mencederai rasa keadilan publik. Seharusnya majelis hakim dan jaksa menjatuhkan hukuman sesuai kategori peredaran, bukan sekadar pemakai,” ujarnya.
Senada dengan Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian,yang sebelumnya juga mendesak Komisi Yudisial (KY) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk memeriksa hakim serta jaksa penuntut umum yang menangani perkara ini.
Yusra juga menilai, dugaan praktik mafia hukum dalam kasus ini semakin kuat setelah munculnya perbandingan vonis antara dua terdakwa dengan kadar barang bukti berbeda.
“Kami menduga kuat ada intervensi kekuasaan di balik putusan ini. KY dan Kejagung tidak boleh diam,” kata Alfian.
Kasus ini kini menjadi perhatian banyak pihak di Provinsi Aceh . Sejumlah lembaga masyarakat sipil menilai, bila tidak ditindaklanjuti, kasus ini akan menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan narkoba di daerah Aceh yang selama ini menjadi jalur rawan peredaran sabu lintas provinsi.
“Kalau hukum bisa dibeli, maka perang melawan narkoba hanya jadi slogan,yang harusnya di Selamatkan itu Penguna yang menjadi korban bukan pengendar, tutup Yusra.(DA)